Bicara
taksi di Jakarta, tak bisa lepas dari Blue Bird. Begitu kuatnya citra Blue
Bird, sampai-sampai warna birunya dicontek armada pesaing. Toh berkat inovasi
yang dilakukan, Blue Bird tetap eksis dan selalu menjadi rujukan. Taksi, ya
Blue Bird! Dari mana nama Blue Bird? Mutiara Djokosoetono – sang pendiri –
memperoleh nama itu saat tinggal di Belanda. Ia mendengar sebuah dongeng klasik
Eropa tentang gadis kecil yang mengharapkan kebahagiaan. Seekor burung berwarna
biru memberi nasihat bahwa itu semua bisa digapai asal si gadis bersedia
bekerja keras dan jujur. Dongeng klasik ini begitu membekas dan mengilhami
Mutiara. Bahkan nasihat burung tersebut diadopsi menjadi nilai-nilai dari Blue
Bird.
Bisnis transportasi Blue Bird berawal dari sebuah bemo dengan trayek
Harmoni – Kota. Bemo ini disopiri oleh Chandra Soeharto, putra pertama pasangan
Prof. Dr. Djokosoetono, S.H. yang merupakan guru besar bidang hukum di UI dan
Mutiara Siti Fatimah. Purnomo adik Chandra yang tak punya SIM kebagian menjadi
kenek alias tukang teriak-teriak menjual jasa. Mutiara kemudian mendapat dua
buah mobil dari polisi dan tentara sebagai balas jasa atas pengabdian suaminya
yang meninggal tahun 1965. Inilah cikal bakal taksi Blue Bird. Waktu itu mobil
mangkal dan pengguna tinggal menelepon ke rumah Mutiara di Jln. HOS
Cokroaminoto No. 107. Karena yang sering menerima Chandra, maka label yang
digunakan Chandra Taksi.
Ketika pemerintah daerah mengeluarkan izin
penyelenggaraan taksi, Chandra Taksi justru tidak memperolehnya. Izin hanya
diberikan untuk perusahaan transportasi yang sudah berpengalaman. Mutiara tidak
putus harapan dan terus berusaha. Bahkan sampai melampirkan referensi tertulis
dari para pelanggannya. Akhirnya kegigihan Mutiara membuat Gubernur Ali Sadikin
memberi izin pada tahun 1971. Setahun kemudian sebanyak 25 unit armada Blue
Bird sudah meluncur ke jalan. Sejak awal berdirinya, Purnomo Prawiro – yang
sempat menjadi sopir salah satu taksinya – memastikan bahwa Blue Bird sarat
dengan inovasi.
Pada awal beroperasi, Blue Bird sudah aktif menggaet pelanggan
dari hotel-hotel di Jakarta dan menerima panggilan lewat telepon. Setelah
armada bertambah banyak, Blue Bird melengkapi mobilnya dengan radio komunikasi
untuk melayani penumpang pada tahun 1970-an. “Kami termasuk taksi pertama yang
menggunakannya,” kata Purnomo (Intisari edisi Maret 2011). Tahun 2000-an Blue
Bird kembali memelopori penggunaan GPS dan GPRS untuk memantau taksi-taksinya.
Untuk mewadahi semua inovasi itu, Blue Bird membangun call centre yang modern.
Setiap panggilan telepon dari pelanggan tercatat di pusat data dan posisi taksi
terdekat dengan penelepon bisa diketahui dari kantor pusat.
Satu hal penting
dari Blue Bird adalah perusahaan ini tetap konsisten mewajibkan penggunaan
argometer kepada penumpangnya. Awalnya sulit sekali menerapkan hal ini. Selain
itu kepeloporan Blue Bird yang mewajibkan sopirnya berpenampilan bersih, rapi,
dan jujur patut diacungi jempol. Saya pernah menggunakan jasa Blue Bird saat
sepeda saya bermasalah. Entah karena apa sang sopir lupa memencet argo begitu
mobil jalan. Argo baru dinyalakan di tengah perjalanan. Si sopir pun tak minta
tambahan saat sampai ditempat saya hanya membayar uang sejumlah yang tertera di
argo. Toh saya tak tega untuk tak memberinya tambahan. “Jika ada pujian dari
pelanggan menyangkut pelayanan kami, tentu saja itu lebih berharga daripada
kami memasang iklan di koran,” kata Purnomo yang mengakui keampuhan iklan
gethok tular atau dari mulut ke mulut ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atensi Anda, salam sukses