Kritik Sopir Taksi Terhadap Kualitas Pendidikan |
Sudah menjadi kebiasaan saya, tatkala naik taksi selalu mengajak sopir
untuk memperbincangkan sesuatu. Saya sudah hafal benar, bahwa ternyata
sopir taksi banyak yang kaya informasi. Para sopir taksi juga selalu
bergaul dengan banyak orang, setidaknya dengan para penumpangnya. Para
penumpang taksi tentu beraneka ragam latar belakangnya, banyak
pengalaman, dan juga kadang tergolong orang penting.
Biasanya sopir taksi juga mengikuti berita lewat koran atau majalah. Sambil antri menunggu penumpang, mereka biasa membaca koran, mendengarkan siaran radio, dan lain-lain. Itulah sebabnya, sopir taksi selalu mengikuti berita-berita aktual. Dengan kekayaan informasi itu, mereka memiliki pikiran kritis, terhadap kebijakan pemerintah, tidak terkecuali tentang pendidikan.
Oleh karena itu anggapan bahwa sopir taksi adalah komunitas klas bawah yang tidak kritis terhadap situasi lingungannya adalah tidak selalu benar. Bahkan sopir taksi pun ternyata juga ada yang berlatar belakang pendidikan sarjana. Akibat sulitnya mencari pekerjaan di kota besar, banyak orang yang mencari pekerjaan sedapatnya, termasuk menjadi sopir taksi.
Sopir taksi yang ketika itu saya tumpangi mengaku hanya lulusan SMA plus kursus mengemudi. Pekerjaannya itu sudah ditekuni sejak belasan tahun. Ia juga sudah merasa senang mendapatkan pekerjaan itu. Dengan menjadi sopir, isteri dan dua anaknya bisa tercukupi kebutuhannya, sekalipun pengahasilan yang dibawa pulang pada setiap hari tidak selalu berlebih sehingga bisa ditabung.
Sekalipun penghasilan sopir taksi itu tidak banyak, tetapi ternyata tidak semua orang bisa diterima sebagai pengemudi kendaraan umum itu. Pengusaha transportasi, oleh karena banyaknya pilihan, juga akan memilih tenaga sopir yang memiliki kelebihan, misalnya pengalaman, kejujuran, penampilan dan lain-lain. Sopir taksi yang saya tumpangi, dengan bangga mengatakan bahwa ada seorang temannya sebagai sesama sopir merangkap menjadi dosen di perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Dari temannya sebagai dosen itu, sopir taksi tersebut menjadi tahu bahwa gaji dosen di perguruan tinggi swasta tidak selalu tinggi, bahkan tidak cukup untuk menghidupi dirinya sediri dan keluarganya. Itulah sebabnya, dosen dimaksud masih harus merangkap sebagai sopir kendaraan umum itu. Sopir taksi yang saya tumpangi merasa bangga, memiliki teman sesama sopir, menjadi dosen di perguruan tinggi swasta.
Ia menceritakan tentang temannya itu, bahwa pada saat harus mengajar, ia membawa taksinya menuju kampus. Agar tidak diketahui oleh para mahasiswanya, sopir taksi yang juga sebagai dosen itu memarkir kendaraannya di tempat jauh dari kampus tempat mengajarnya. Dosen yang juga berprofesi sebagai sopir tersebut merasa tidak enak manakala diketahui oleh mahasiswa tentang statusnya yang sebenarnya.
Sopir taksi tersebut juga menceritakan bahwa, untuk mendapatkan pekerjaan di kota besar seperti di Jakarta tidak mudah. Para lulusan SMA pun manakala tidak memiliki ketrampilan harus mau bekerkja seadanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menurut sepengetahuannya, di Jakarta banyak lulusan SMA hanya bekerja sebagai petugas security, cleaning servis, dan bahkan juga hanya sebagai pembantu rumah tangga.
Melihat kenyataan seperti itu, sopir taksi mengkritisi terhadap kebijakan pendidikan yang dikembangkan selama ini. Ia menyebutkan bahwa, pelajaran di sekolah belum sesuai dengan jenis pekerjaan yang ditekuni setelah mereka lulus. Di sekolah sebagaimana yang dialaminya sendiri, diajari ilmu biologi, kimia, fisika, matematika dan lain-lain, dan bahkan harus mengikuti ujian nasional yang menakutkan. Padahal akhirnya, mereka itu hanya akan menjadi sopir taksi, petugas security, pegawai pabrik, dan sejenisnya.
Mendengarkan pikiran-pikiran kritis sopir taksi tersebut, saya berkesimpulan bahwa ternyata ada pihak-pihak tertentu yang merasa belum puas dan bahkan berontak terhadap pelaksanaan pendidikan yang sedang berjalan selama ini. Mereka melihat belum adanya kesesuaian antara apa yang diberikan di sekolah dengan kebutuhan dan tuntutan hidup di masyarakat. Sopir taksi saja berpandangan bahwa seharusnya kenyataan di lapangan dijadikan dasar dalam mengambil keputusan penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian pendidikan selalu dengan mudah dirasakan manfaatnya.
Sekolah semestinya dimaknai sebagai proses pelatihan hidup. Institusi pendidikan tidak boleh bersikukuh mengajarkan mata pelajaran yang tidak ada relevansinya dengan kehidupan itu sendiri. Beberapa pelajaran seperti fisika, kimia, biologi, matematika, sosiologi, psikologi dan lain-lain, memang perlu diberikan kepada para siswa. Akan tetapi, pada tingkat tertentu, hanya diperlukan bagi mereka yang akan meneruskan pendidikan hingga perguruan tinggi. Sementara, sekalipun sekolah umum, -------SMA misalnya, harus dibakali dengan ketrampilan yang diperlukan bagi hidupnya kelak.
Andaikan strategi itu dilakukan, maka sopir taksi tidak perlu memberikan kritik terhadap para ahli pendidikan dan juga kebijakan pemerintah. Selain itu, masyarakat pada level tertentu juga tidak menghadapi dua persoalan yang sama beratnya, yaitu menghadapi beban pendidikan yang dirasakan berat dan juga mencarikan pekerjaan setelah anak-anaknya lulus. Pendidikan yang diinginkan adalah yang mampu membekali hidup bagi para siswanya. Masyarakat tidak menginginkan sekolah menjadi beban, tetapi sebaliknya, yaitu agar menjadi kekuatan solutif terhadap problem yang dihadapi. Wallahu a�lam.
--------------
Profil Penulis:
PROF. DR. H. IMAM SUPRAYOGO Lahir di Trenggalek 2 Januari 1951. Beliau
adalah Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang sekaligus Guru Besar
Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang.
Lulusan SDN Trenggalek (1964), SMPN Trenggalek (1967) dan SMAN Trenggalek (1970) di kota kelahirannya ini adalah alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang yang berhasil meraih gelar doktornya dari Universitas Airlangga Surabaya (1998) dalam bidang sosiologi.
Sebelum menjabat di almamaternya, pernah menjadi Pembantu Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang (1983 - 1996) dan Wakil Direktur Pascasarjana UMM (1996).
Suami dari Hj. Sumarti dan bapak dari Akhmad Farid Widodo, Hasan Akhmad Wirawan, Fuad Hasan Wicaksono dan Asmak Putri Kamila ini dikenal sebagai pakar dan ahli dalam pengembangan pendidikan islam, sehingga tercatat sebagai pemimpin pendidikan yang sangat cemerlang oleh MURI Indonesia (2006) dalam memimpin dunia pendidikan islam.
Ketua Majlis Madrasah Terpadu Kota Malang ini kini sedang melakukan perubahan besar terhadap universitas yang dipimpinnya sejak menjadi STAIN, UIIS hingga menjadi UIN sekarang ini.
Lulusan SDN Trenggalek (1964), SMPN Trenggalek (1967) dan SMAN Trenggalek (1970) di kota kelahirannya ini adalah alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang yang berhasil meraih gelar doktornya dari Universitas Airlangga Surabaya (1998) dalam bidang sosiologi.
Sebelum menjabat di almamaternya, pernah menjadi Pembantu Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang (1983 - 1996) dan Wakil Direktur Pascasarjana UMM (1996).
Suami dari Hj. Sumarti dan bapak dari Akhmad Farid Widodo, Hasan Akhmad Wirawan, Fuad Hasan Wicaksono dan Asmak Putri Kamila ini dikenal sebagai pakar dan ahli dalam pengembangan pendidikan islam, sehingga tercatat sebagai pemimpin pendidikan yang sangat cemerlang oleh MURI Indonesia (2006) dalam memimpin dunia pendidikan islam.
Ketua Majlis Madrasah Terpadu Kota Malang ini kini sedang melakukan perubahan besar terhadap universitas yang dipimpinnya sejak menjadi STAIN, UIIS hingga menjadi UIN sekarang ini.
Repost By: Sobat Blogger Prof. Dr.H.Imam Suprayogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atensi Anda, salam sukses